Minggu, 01 September 2013

JEJAK SIPAHIT LIDAH

JEJAK-JEJAK SI PAHIT LIDAH..


 JEJAK SI PAHIT LIDAH

Si Pahit Lidah, suatu legenda yang hampir punah di mata penduduk Sumatera, khususnya di Sumatera Selatan. Tidak jelas asal yang pasti asal usulnya. Inilah bukti (mitos) si pahit lidah di tengah masyarakat yang saya rangkum secara singkat: 

Peninggalan Si Pahit Lidah:


1.Batu Macan...!!!!!!!!11

Konon batu ini sudah ada sejak abad ke 14 terdapat di Desa Pagar Alam Kecamatan Pulau Pinang Kabupaten Lahat. Penduduk setempat meyakini batu macan adalah simbol  sebagai wujud nyata paraturan adat (perdat) yang harus dipatuhi. Menurut cerita penduduk setempat Dahulu kala ada seekor macan yang kerap kali mengganggu masyarakat desa di empat wilayah (Pagar Gunung, Gumay Ulu, Gumay Lembah, dan daerah Gumay Talang).

Keganasan macan yang semakin merajalela kepada penduduk, membuat Si Pahit Lidah memperingati macan untuk tidak meneruskan kelakuannya, namun sampai tiga kali teguran tidak pernah dipatuhinya dan macan terus saja mengganggu penduduk.
Ketika Si Pahit Lidah sedang bersantai dan berjemur di batu penarakan sumur tinggi, dari jauh dilihatnya seorang wanita sedang menjemur padi sambil menggendong anaknya, dan pada saat yang sama datang seekor macan dari arah belakang wanita secara mengendap-endap untuk menerkam wanita bersama anak yang ada di gendongannya.
Melihat itu, kembali Si Pahit Lidah memperingati macan, namun sayangnya teguran itu tidak juga membatalkan niatnya untuk menerkam wanita tersebut, sampai akhirnya Si Pahit Lidah berucap “Aii, dasar batu kau nii!” dan tiba-tiba macan tersebut berubah menjadi batu.
Anehnya, bukan hanya macan yang menerima kutukkan dari Si Pahit Lidah, wanita berserta anak yang sedang digendongnya turut menjadi batu. Setelah diselidiki, ternyata wanita tersebut adalah wanita pezinah dan anak yang sedang digendongnya adalah anak hasil perzinahan.
Dari kisah itu, penduduk setempat mempercayai, apabila seseorang diketahui berzinah, maka terdapat hal-hal yang harus dilakukan oleh si pelaku yakni menyembelih kambing sebagai basoh rumeh (pembersih rumah. red), dan apabila si wanita mengandung dan melahirkan, maka harus menyembelih kerbau sebagai basoh marge (pembersih lingkungan. red). Hanya saja, sebelum kedua hewan tersebut disembelih maka pelaku harus dikucilkan dan tidak boleh bergaul seperti diungsi kan di daerah lain atau di pegunungan, dan akan dapat diterima di masyarakat kembali setelah memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut.

2.Goa Putri...!!!!!!!!!!

Menurut legenda yang dipercaya sampai sekarang, dulu tinggallah seorang Putri Balian bersama keluarganya. Suatu saat, sang Putri mandi di muara Sungai Semuhun (sungai yang mengalir di dalam goa, bermuara di sungai Ogan), persis pada pertemuan sungai itu dengan sungai Ogan. 
Pada suatu saat, kebetulan seorang pengembara sakti lewat, namanya Serunting Sakti atau yang lebih dikenal dengan nama Si Pahit Lidah. Melihat Sang Putri di sungai hendak mandi, Si Pahit Lidah mencoba menegur. Namun tidak dipedulikan sama sekali oleh Sang Putri. Sampai beberapa kali Si Pahit Lidah menegur Sang Putri, tetap saja tidak dihiraukan oleh Sang Putri. "Sombong benar si Putri ini, diam seperti batu saja...," kata Si Pahit Lidah menggumam. Gumaman itu langsung mengenai Sang Putri, sehingga serta merta Sang Putri berubah menjadi batu. Itulah batu yang terdapat di Sungai Ogan, seperti yang digambarkan pada awal tulisan ini. 

Si Pahit Lidah lalu meneruskan perjalanannya. Tak disangka sampailah sang pengembara di depan lokasi yang sekarang menjadi goa. "Katanya ini desa, tapi tidak kelihatan orangnya, seperti goa batu saja,' kata Si Pahit Lidah bergumam. Dan jadilah tempat itu sebagai goa batu. Itu legenda terjadinya Goa Putri.
Memasuki Goa Putri, banyak keindahan alam ciptaan Tuhan yang menakjubkan dapat Anda saksikan. Bagaikan perunggalan kerajaan pada zaman dahulu yang telah runtuh namun masih utuh. Dinding goa yang dipenuhi stalagmit dan stalagtit menambah indahnya goa tersebut. Pada pintu masuk dapat Anda lihat patung seekor singa yang seolah-olah sedang orang di sana, jika Anda mencuci muka dengan air tersebut bisa menjadi awet muda, kulit muka tidak kelihatan tua.

 3. Danau Ranau...!!!!!!!

Danau ranau berjarak kira2 342 km dari kota palembang, 130 km dari kota Baturaja. Konon kabarnya hidup seorang yang sangat sakti yaitu Si Pahit Lidah, karena saking lidahnya pahit dapat mengkutuk orang, binatang, atau benda apapun menjadi batu. Hal ini dipercaya karena adanya situs peninggalan zaman dahulu kala yaitu BATU KEBAYAN (candi sepasang pengantin) yang puing-puingnya masih tersisa di dekat Desa Jepara, kecamatan Buay Pematang Ribu Ranau Tengah, kabupaten OKU Selatan, Sumatera Selatan. Dan konon dipercaya banyaknya situs (arca atau patung) di daerah Ranau.

 4. Patung Gajah......!!!!!

Lokasi situs megalitik itu letaknya di alam bumi Pasemah Lahat dan Pagar Alam, sekitar 500-an kilometer dari Palembang, di dataran tinggi antara 750 meter-1.000 meter di kaki Gunung Dempo dari Pegunungan Bukit Barisan dan daerah aliran hulu Sungai Musi dan anak-anak sungainya.
Ahli arkeologi Belanda sejak EP Tombrink (1827), Ulmann (1850), LC Westernenk (1921), Th van der Hoop (1932) dan lainnya sejak dulu berusaha memecahkan misteri ilmiah keberadaan kompleks situs megalitik yang penuh serakan peninggalan arkeologi.
Sebetulnya masih banyak peninggalan dari legenda si pahit lidah, seperti arca,lesung,subik,batu sirmol dan lain - lain. Tapi saya kutip yang terkenal di masyarakat.


Sejarah Singkat...:

Tersebutlah kisah seorang pangeran dari daerah Sumidang bernama Serunting. Anak keturunan raksasa bernama Putri Tenggang ini, dikhabarkan berseteru dengan iparnya yang bernama Aria Tebing. Sebab permusuhan ini adalah rasa iri-hati Serunting terhadap Aria Tebing.
Dikisahkan, mereka memiliki ladang padi bersebelahan yang dipisahkan oleh pepohonan. Dibawah pepohonan itu tumbuhlah cendawan. Cendawan yang menghadap kearah ladang Aria tebing tumbuh menjadi logam emas. Sedangkan jamur yang menghadap ladang Serunting tumbuh menjadi tanaman yang tidak berguna.
Perseteruan itu, pada suatu hari telah berubah menjadi perkelahian. Menyadari bahwa Serunting lebih sakti, Arya Tebing menghentikan perkelahian tersebut. Ia berusaha mencari jalan lain untuk mengalahkan lawannya. Ia membujuk kakaknya (isteri dari Serunting) untuk memberitahukannya rahasia kesaktian Serunting.
Menurut kakaknya Aria Tebing, kesaktian dari Serunting berada pada tumbuhan ilalang yang bergetar (meskipun tidak ditiup angin). Bermodalkan informasi itu, Aria Tebing kembali menantang Serunting untuk berkelahi.
Dengan sengaja ia menancapkan tombaknya pada ilalang yang bergetar itu. Serunting terjatuh, dan terluka parah. Merasa dikhianati isterinya, ia pergi mengembara.
Serunting pergi bertapa ke Gunung Siguntang. Oleh Hyang Mahameru, ia dijanjikan kekuatan gaib. Syaratnya adalah ia harus bertapa di bawah pohon bambu hingga seluruh tubuhnya ditutupi oleh daun bambu. Setelah hampir dua tahun bersemedi, daun-daun itu sudah menutupi seluruh tubuhnya. Seperti yang dijanjikan, ia akhirnya menerima kekuatan gaib. Kesaktian itu adalah bahwa kalimat atau perkataan apapun yang keluar dari mulutnya akan berubah menjadi kutukan. Karena itu ia diberi julukan si Pahit Lidah.
Ia berniat untuk kembali ke asalnya, daerah Sumidang. Dalam perjalanan pulang tersebut ia menguji kesaktiannya. Ditepian Danau Ranau, dijumpainya terhampar pohon-pohon tebu yang sudah menguning. Si Pahit Lidah pun berkata, “jadilah batu.” Maka benarlah, tanaman itu berubah menjadi batu. Seterusnya, ia pun mengutuk setiap orang yang dijumpainya di tepian Sungai Jambi untuk menjadi batu.
Namun, ia pun punya maksud baik. Dikhabarkan, ia mengubah Bukit Serut yang gundul menjadi hutan kayu. Di Karang Agung, dikisahkan ia memenuhi keinginan pasangan tua yang sudah ompong untuk mempunyai anak.

Penelusuran Peninggalan Si Pahit Lidah..:

1.Penelitian pada Zaman Belanda ( Batu Gajah )

Si Pahit Lidah sungguh sakti kata-katanya. Setiap serapah sumpah yang keluar dari mulutnya yang berlidah pahit kontan akan membuat benda yang dikutuk menjadi batu. Begitu kira-kira dongeng lisan masyarakat Pasemah di kawasan Lahat dan Pagar Alam di Sumatera Selatan.
Kesaktian tokoh suci folklorik itu menjadi salah satu hiasan info populer perihal banyaknya arca batu dan batu bertatahkan torehan bentuk manusia dan binatang.
Cerita rakyat itu hanya imbuhan karena para pakar arkeologi sejak zaman penjajahan Belanda hingga kini masih terkagum- kagum dan takjub dengan adanya peninggalan budaya masa lampau, konon ditaksir sudah sejak beratus-ratus tahun silam.
Lokasi situs megalitik itu letaknya di alam bumi Pasemah Lahat dan Pagar Alam, sekitar 500-an kilometer dari Palembang, di dataran tinggi antara 750 meter-1.000 meter di kaki Gunung Dempo dari Pegunungan Bukit Barisan dan daerah aliran hulu Sungai Musi dan anak-anak sungainya.
Ahli arkeologi Belanda sejak EP Tombrink (1827), Ulmann (1850), LC Westernenk (1921), Th van der Hoop (1932) dan lainnya sejak dulu berusaha memecahkan misteri ilmiah keberadaan kompleks situs megalitik yang penuh serakan peninggalan arkeologi.
“Van den Hoop tercatat membawa batu bundar ini ke Palembang, sekitar tahun 1930-an tanpa penjelasan rinci,” ujar Drs Nurhadi Rangkuti MSi (49), Kepala Balai Arkeologi Sumatera Bagian Selatan, akhir Februari lalu, saat menjelaskan batu besar berhiasan unik yang kini koleksi Museum Balaputradewa di kota Palembang.
Batu bundar macam telur besar pejal asal Kotoraya di Lahat mencolok sekali tatahan dan goresannya berbentuk gajah dan manusia. Perhatikan hiasan pahatannya, menggambarkan seorang manusia sedang menggapit seekor gajah. Tokoh itu mengenakan tutup kepala macam ketopong, telinganya mengenakan semacam anting dan mengenakan juga kalung leher. Kakinya mengenakan gelang kaki yang diduga berbahan logam. Di punggung manusia itu ada sebentuk nekara, tetapi wajahnya berbibir tebal, hidung pesek dan pendek, mata lonjong dan badannya terkesan bungkuk. Di pinggangnya terdapat senjata tajam, ujar Nurhadi yang mengaku belum pernah mengukur rinci besar dan bobot batu andesit itu.
“Dari ujung belalai sampai ke ekor gajahnya, sekitar 2,7 meter. Di balik relief gajah ini, ada pula bentuk seekor babi bertaring panjang dengan dua tokoh manusia.”
Peninggalan tradisi megalitik itu amat terkenal di dunia kajian arkeologi karena, selain diduga dari masa prasejarah, tradisi batu besar itu pun berlanjut sampai kini. Bentuk peninggalan megalitik lainnya di wilayah Pasemah, selain batu gajah dan beberapa arca besar lainnya yang kini ada di Palembang, di Pagar Alam juga masih banyak peninggalan arkeologi berupa arca batu besar, alat-alat batu, tembikar, bilik batu dan menhir.
Khususnya di situs bilik batu, terdapat lukisan menggambarkan manusia sedang menggamit seekor kerbau dengan warna merah bata, hitam, dan kuning oker. Selain itu, juga ada lukisan aneka bentuk lukisan manusia, binatang, dan burung dengan kombinasi warna merah, kuning, putih, dan hitam.
“Seluruh peninggalan budaya prasejarah itu memberikan informasi bahwa pada masa lampau di daerah hulu Sungai Musi sudah terdapat hunian awal manusia, di daerah tepian sungai pada bidang tanah yang tinggi. Hunian yang lebih sedikit maju ditemukan di daerah kaki Gunung Dempo di sekitar kota Pagar Alam sekarang. Di daerah ini ditemukan banyak sekali arca megalit dan bilik-bilik batu yang berhiaskan lukisan…,” tulis arkeolog Bambang Budi Utomo (Kompas , 26 Agustus 2005).
Sejak zamannya Ulman, peneliti zaman klasik itu selalu menghubungkan seni hias yang ada dengan budaya Hindu. Bahkan, Tombrik tahun 1872 menuliskan laporan Hindoe Monumenten in de Bovenlanden van Palembang, als van Geschiedkundig Onderzoek.
Kesimpulan sementara budaya Hindu itu kemudian dibahas lebih tajam pada buku disertasi karya ANJ Th van der Hoop, Megalithic Remains in South Sumatra, 1932.
Saat itulah situs di Pasemah itu terkenal sebagai situs megalitik di Sumsel, berikut penerbitan Megalithische Oudheden in Zuid- Sumatra , seraya mengakhiri debat ilmiah perihal pengaruh Hindu.
Wujud manusia biasanya dengan tubuh tambun, berikut bentuk tangan, kaki, perut, dan leher yang gemuk. Umumnya badan manusia itu membungkuk dengan kepala berketopong menghadap ke depan atau agak menengadah.
“Bentuk lainnya ada juga tokoh manusia menggamit seekor kerbau selain gajah. Ada teori klasik yang menyebutkan kalau gajah dan kerbau merupakan hewan tunggangan, tetapi debat dan kilah ilmiah arkeologis itu kini belum dilanjutkan dengan penelitian komprehensif, ujar Nurhadi yang mengakui instansinya tidak ada anggaran untuk studi megalit di Sumsel.
Sambil menyusuri takikan halus di batu besar itu, Nurhadi mengatakan kalau seni pahat megalitik itu amat mengagumkan. Torehan pahat, tatahan, pahatan permukaan batu pejal itu, dibuat amat halus dan proporsional, mengikuti bentuk dasar batu. Batu gajah yang diteliti Van der Hoop dan diboyong ke Palembang di zaman 70-an memiliki alasan tersendiri.
“Kami upayakan menemukan catatan lama soal kejadian itu karena tidak mungkin batu berton-ton beratnya itu diangkut tanpa maksud dan tujuan ilmiah,” ucapnya.
Suasana Museum Balaputradewa di Palembang pagi hari itu ramai dikunjungi rombongan siswa SLTA. Seperti biasanya museum pemerintah, pelajar itu berjalan bebas tanpa ada bimbingan guru atau juru penerang dari museum. Batu gajah besar itu hanyalah batu tanpa pesan dan kesan ilmiahnya.
Kisah manusia dan gajah yang “dikutuk” Si Pahit Lidah menjadi batu kaku hanya menjadi pajangan koleksi biasa. Mungkin sekali waktu perlu ada tokoh “Si Manis Lidah” agar bisa menjelaskan latar belakang budaya luhur Sumsel dan kisah Si Pahit Lidah, sambil menjelaskan contoh ilmiah batu gajah yang misterius, tetapi serius! (RUDY BADIL/Wartawan Senior di Jakarta)

2. Penelitian Permukiman kuno di tepi Danau Ranau dan sekitarnya...:

Penelitian dilaksanakan dari tanggal 16-27 April 2008, dengan ketua  tim Sondang M. Siregar, dan beranggotakan 5 orang yaitu Budi Wiyana, Kristantina Indriastuti, Ismayati, Firdaus dan Untung. Penelitian dilakukan dengan survey dan ekskavasi. Berikut hasil penelitian di Danau Ranau :

a. Parit  (siring)

Lokasi candi berbatasan dengan parit (gua sanga 1 dan gua sanga 2). Parit ini membujur dari selatan ke utara. Parit (gua sanga 1) memiliki lebar 10 m. Di belakang candi juga ditemukan parit namanya jikung kibau (=tempat kerbau mandi). Parit lebar 1-2 m, membujur ke barat berkumpul ke Sungai Perli.

b. Candi Jepara (Batu Kebayan: batu pengantin)
Lokasi sekarang dikelilingi oleh pagar kawat berduri. Nampak runtuhan bangunan candi yang berserakan di atas permukaan tanah. Batu candi terbuat dari batu kapur, fondasi  berdenah empat persegi panjang, ukuran lebih kurang panjang 9 meter dan lebar 8 meter. Pada fondasi candi terlihat pelipit sisi genta dan padma. Di sekitarnya tampak juga panil batu yang diduga bagian dari kaki candi, panil tersebut empat persegi namun diatas panil tidak berhias (polos). Sistem penyambungan batu disini menggunakan sistem batu takuk. Arah hadap candi timur laut.

c. Kampung Lama (Jepara Tua)

Disini terdapat juga makam tua yaitu makam Ratu Sipiho (penguasa daerah Jepara dulu). Salah satu keturunannya sekarang Bupati OKU (Muslimin Singajuru). Ratu Sipiho ini dahulu mempertahankan daerah Jepara ketika Suku Abung dari Lampung datang menyerang. Lokasi candi Jepara dengan kampung ’Jepara Tua’ berjarak kurang lebih 600 meter. Lokasi Jepara  Tua yaitu kampung lama masuk ke sekitar 200 meter. Di tanah milik Bapak Nasution ditemukan pecahan-pecahan keramik di atas permukaan tanahnya. Lokasi sekarang ditumbuhi semak belukar adapula ditanam tembakau. Pengolah tanah adalah Bapak Tambat (salah seorang tenlok). Bapak Tambat menginformasikan kepada tim, bahwa dia pernah menggali di lokasi ini dan menemukan mata uang (Kolonial) dan fragmen guci (stoneware), wadah terbuat dari perunggu. Selanjutnya tim menindaklanjuti dengan mengadakan ekskavasi di lokasi ini. 

d. Benteng Tanah

Perbatasan makam dengan tanah milik Bapak Nasution terdapat benteng tanah yang membujur dari utara ke selatan, sebelah utara berbatasan dengan jalan dan Sungai Way Perli dan sebelah selatan berbatasan dengan Danau Ranau. Tinggi benteng ke jalan terdekat 10-15 meter, kemiringan 450  Tinggi benteng 160-190 meter, lebar 6-8 meter, panjang: 70 meter. Di sisi kanan benteng ini terdapat parit selebar 6 meter, yang ditumbuhi pohon bambu di pinggirannya. Lokasi Jepara Tua dikitari jalan dan Sungai Way Perli sebelah utara dan barat, dan sebelah selatan jalan dan Danau Ranau, sebelah timur pemakaman jaman sekarang.

e. Penemuan Subik

Tim berhasil menemukan batu lesung yang terletak didekat tepi jalan, tepatnya berada di lereng, sekitarnya banyak ditanam kopi. Panjang lesung batu : 140 cm, lebar 124 cm, tinggi 88 cm, lubang: 58 cm, lebar dalam lubang 30 x 30 cm. Informasi penelitian terdahulu ditemukan fragmen batu candi di lokasi ini, namun sejauh ini tim belum menemukan fragmen batu candi tersebut.
Infomasi dari Bapak Akil: di Subik terdapat Tengkujuh, Batu Srimol (artinya orang hutan), Subik Tuha, Sri Tanjung. Bapak Akil ini menyimpan keramik kuno: piring ¾ utuh, warna biru putih, keramik ini ditemukan di Dusun Sri Tanjung. Tim berhasil mensurvey lokasi penemuan piring keramik, yaitu di area kebun kopi, yang di belakangnya mengalir Way Lerai, berhulu ke Danau Ranau. Lokasi Batu Srimol adalah gua kecil yang terletak di atas bukit yang lerengnya sangat curam. Subik Tuha merupakan kampung lama dari Desa Subik, yang sekarang diatas permukaan tanahnya terdapat makam. Disini juga dimakamkan penyebar agama Islam pertama di Subik.Dari informasi juga di Desa Padang Ratu terdapat kampung lama (perlu disurvey )     


e.  Danau Ranau

Tim berhasil melaksanakan survey ke Pulau Marisa, yang berada di tengah Danau Ranau dan juga berkunjung ke pemandian air panas di Kota Batu. Dari informasi penduduk di sekitar Kota Batu terdapat sebaran fragmen keramik kuno.
Kesimpulan tim Sondang M. Siregar:
-    Di tepi Danau Ranau banyak ditemukan situs-situs baik yang berasal dari masa Prasejarah, Hindu/Buddha dan Islam
-    Di situs Jepara (Ranau) ditemukan runtuhan bangunan candi, yang berdasarkan gaya seni bangunan candinya berasal dari sekitar abad ke-10 Masehi.
-    Di situs Jepara ditemukan pemukiman masa lampau, yang berjarak sekitar 600 meter sebelah tengara candi (disebut ’Jepara Tua’). Lokasi ini berbatasan dengan benteng tanah yang membujur dari utara  ke selatan dengan tinggi 160-190 meter, lebar 6-8 meter, panjang: 70 meter. Sekitar area ’Jepara Tua’  terdapat dolmen dan batu kursi (tinggalan megalitik). Berdasarkan hasil ekskavasi pada sekitar candi sedikit ditemukan pecahan keramik, sedangkan pada lokasi ’Jepara Tua’ banyak ditemukan pecahan keramik: tembikar, batuan, porselen (dari abad ke-10 M-17/18 M), mata uang, selain itu juga ditemukan sedikit fragmen obsidian dan tulang binatang. Oleh karena itu diduga situs Jepara digunakan tempat bermukim penduduk dari masa Prasejarah, Hindu/Buddha dan Islam.

3. Goa Putri ....!!!

Penelitian dilakukan pada tgl 2-13 Juni 2008 diketuai oleh Kristantina Indriastuti, S.S dengan anggota tim Dr Harry Widianto, Sondang M.S, Armadi ST, Aminah B.A. Sigit Eko Prasetyo S.Hum..

Tujuan Penelitian
Mengidentifikasi aktivitas budaya yang pernah berlangsung di sektor  gua Putri I,  ceruk gua dan di teras sungai-sungai yang berada di kawasan gua Putri.
Mengetahui karakter budaya di sekitar mulut gua, ceruk gua dan di teras sungai secara lengkap dan representatif. 
Mengetahui tingkatan teknologis dan perkembangan tipologis artefak yang masih harus diperoleh datanya secara lengkap. 
Memahami kaitan antara pendukung budaya dengan pola subsistensinya, yang pernah berlangsung di sektor GP I dan di teras sungai.
Hasil Penelitian
Pemanfaatan ruang oleh manusia di masa lalu merupakan hal yang penting dalam mengkaji arkeologi pemukiman. Setiap kegiatan manusia selalu menempati suatu ruang tertentu. Segala tingkah laku manusia di dalamnya akan ditentukan oleh berbagai unsur keruangan. Unsur keruangan itu terdiri dari artefak, bahan baku, fitur, tempat sumber bahan baku (resources spaces) dan manusia (population) yang mendayagunakan dan mengatur unsur-unsur tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan melalui ekskavasi di sector mulut gua dan di dekat teras sungai, serta ceruk di depan gua nampaknya data artefaktual banyak ditemukan di depan mulut gua yang berada di sebelah kiri tangga masuk wisatawan, sedangkan pada beberapa tempat seperti dekat teras sungai dan di ceruk gua nampak bahwa tempat-tempat tersebut tidak dipilih oleh pendukung budaya gua untuk bertempat tinggal maupun tempat beraktivitas, hal ini nampak dari beberapa kali tes pit yang kita adakan di luar gua dan di ceruk gua, seperti Kotak  K- 4, K- 5, K-6 dan K-7, K-8, yang kita gali sampai kedalaman 2 m tidak menampakkan adanya bukti-bukti artefaktual.

Hal ini berbeda dengan kotak K3, yang berada di dekat pintu masuk gua menunjukkan bahwa gua ini pernah dihuni pada masa prasejarah, dan manusia gua ini hidup dengan mengkomsumsi kerang sebagai makanan utamanya, namun ada juga sebagian kecil tulang hewan yang dikonsumsinya hal ini terlihat dari beberapa fragmen tulang yang terbakar. Selain kerang dimanfaatkan untuk makanannya ada beberapa bagian juga dimanfaatkan sebagai peralatan seperti alat serut.
Sehubungan dengan pengolahan makanan tidak dapat dilepaskan juga dengan peralatan yang digunakan untuk mendukung aktivitas tersebut, hal ini terbukti dari ditemukannya alat-alat batu yang sebagian besar berupa serut, serpih bilah, beberapa batu inti (bahan dasar alat), tatal-tatal (serpihan) batu, batu dipangkas (limbah pembuatan alat), dan calon-calon alat. Berdasarkan temuan alat-alat batu tersebut menunjukkan bahwa penghuni gua sudah menggunakan berbagai jenis bahan batuan untuk pembuatan alatnya seperti, gamping kersikan, batu rijang, fosil kayu, serta obsidian, dan kerang.
Selain ditemukannya artefak litik, ditemukan juga fragmen gerabah hias dan polos yang menggunakan tehnik roda putar yang dipadukan dengan tehnik tatap pelandas dan di kotak K-3 tersebut, ditemukan komponen fragmen manusia sebanyak 3 individu antara lain berupa komponen fragmen tengkorak, gigi, geraham , ruas tulang jari, fragmen tempurung kaki dll.

0 komentar:

Posting Komentar